Kisah Samudramantana dapat diikuti dalam kitab Ādiparwa
JawaKuna. Kitab ini adalah saduran dalam bentuk prosa
dari kitab pertama wīracarita
Mahābhārata Sanskerta, yang ditulis
pada masa pemerintahan Dharmawangsa Tĕguh, akhir abad ke-10. Kitab ini terdiri atas
dua bagian besar yakni cerita mengenai upacara kurban atas perintah raja
Janamejaya sebagai sarana untuk memusnahkan para naga serta silsilah Pāṇḍawa dan Korawa, kelahiran dan masa muda mereka sampai dengan pernikahan
Arjuna dengan Subhadrā.
Kisah samudramanthana terdapat pada bagian
pertama yang mengisahkan riwayat para naga, termasuk dalam Astīkācarita. Kisah ini mengawali
perselisihan antara kedua istri Kaśyapa, Winatā dan Kadrū, mengenai warna ekor
kuda Ucchai˙śrawa yang muncul dari pengadukan laut itu.
Secara
garis besar kisah Samudramanthana adalah sebagai berikut :
Para dewa berunding di puncak Gunung
Mahameru untuk membicarakan cara mendapatkan amṛta. Perundingan itu juga dihadiri oleh
golongan daitya dan dānawa karena mereka pun ingin
mendapatkan amṛta. Dalam perundingan itu Wiṣṇu
memberitahu mereka agar mereka mengaduk Laut Kșīra. Maka mereka pun berangkat
menuju Laut Kșīra.
Ada sebuah gunung, Mandara namanya,
berada di Pulau Śangkha, pulau yang berlaut Kșīra. Tinggi gunung itu sebelas
ribu yojana, sedangkan luas
lautnya seribu yojana. Gunung
itulah yang dicabut oleh Anantabhoga, dijatuhkan ke Laut Kșīra sebagai alat
untuk mengaduk laut itu. Para dewa segera memohon belas kasihan kepada Dewa
Samudra agar membantu mereka. Dewa Samudra pun menyetujuinya.
Ada raja kura-kura, Akūpa namanya,
penjelmaan Wiṣṇu. Dialah yang disuruh menyangga
Gunung Mandara supaya tidak tenggelam. Basuki menjadi tali, membelit lerengnya,
sedangkan Indra menaiki puncaknya. Maka mulailah para dewa dan asura menarik Basuki. Para dewa
menarik ekornya, sedangkan para asura
menarik kepalanya. Ketika ditarik, keluarlah bisa dan api dari napas Basuki
sehingga menyebabkan para asura
tidak berdaya. Namun demikian mereka tetap giat berusaha agar segera
mendapatkan amṛta. Semua berteriak-teriak. Gemuruh laut bagaikan guntur di saat pralaya, sangat memekakkan telinga.
Karena Gunung Mandara terlalu lama
diputar, banyak batu terlempar, banyak pohon yang roboh. Pohon-pohon saling
bergesekan sehingga mengeluarkan api yang membakar hutan dan segala isinya.
Ikan di
laut pun terlempar hanyut ke Laut Lawaṇa. Baruṇa yang dicakra oleh Wiṣṇu berusaha mengecilkan diri dan
menyusup ke pātāla, mabuk
karena pengadukan Laut Kșīra, yang menjadi pekat seperti dimasak, matang karena
panasnya api yang menyala di lereng Gunung Mandara dan percikan bisa yang
keluar dari muka Basuki. Maka teringatlah Indra akan dewa dan asura yang kepanasan karena api itu
sehingga mereka mengalami kesulitan memutar Gunung Mandara. Dipanggilnya awan
dari segala arah sehingga gunung dan laut itu diliputi awan. Itulah yang
dihujankannya sehingga dapat memadamkan api yang berkobar itu. Konon lemak
binatang yang terbakar dan getah pohon-pohon itu hanyut sampai ke Laut Lawaṇa. Laut Kșīra pun semakin pekat. Para dewa dan asura pun semakin giat mengaduk karena sudah diberi kesaktian
oleh Wiṣṇu.
Keluarlah minyak dari lautan susu
itu, diikuti arddhacandra, dewi
Śrī, dewi Lakßmī, kuda Ucchaiśrawa, dan permata Kastubha. Semua itu menjadi milik
dewa, tidak ada yang menjadi milik asura.
Akhirnya keluarlah Dhanwantarī membawa śwetakamandalu
yang berisi amṛta. Itulah yang diambil daitya
karena mereka menganggapnya sebagai bagian mereka.
Pengadukan laut Kșīra pun selesai.
Mereka segera mengembalikan Gunung Mandara ke tempat semula. Para dewa pun
beristirahat. Wiṣṇu memikirkan cara mendapatkan amṛta yang telah diambil oleh daitya.
Ia menyamar sebagai wanita yang sangat cantik kemudian datang ke tempat
para daitya. Semua yang melihatnya pun tertarik. Demikian pula para daitya. Amṛta yang berada di dalam kamandalu itu diberikan kepadanya
untuk dipangku. Maka wanita itu pergi membawa amṛta dan kembali menjadi Wiṣṇu.
Melihat hal itu marahlah para daitya.
Semua segera mengejar Wiṣṇu dengan membawa berbagai macam
senjata. Wiṣṇu sampai di tempat para dewa. Para
dewa, seperti Brahma dan Iśwara, segera menolong Wiṣṇu. Perang pun tak terelakkan. Pertempuran itu terjadi di Pulau Sangkha,
di tepi Laut Lawaṇa. Wiṣṇu berpikir bahwa perang itu tak akan berakhir karena mereka sama-sama
sakti. Maka ia segera memanggil senjata cakranya. Keluarlah senjata itu dari
angkasa, menyala bagaikan kobaran api. Daitya
itu putus lehernya karena dicakra oleh Wiṣṇu. Beratus-ratus ribu daitya
yang mati. Mereka yang selamat menyelam ke laut, bersembunyi di patala. Daitya dan raksasa pun kalah. Darahnya menjadi sungai, mengalir
ke Laut Lawaṇa. Aditya pun menjadi merah karena
merahnya darah itu. Bangkai daitya
dan raksasa itu bagaikan gunung yang memerah karena lahar. Wiṣṇu segera pulang diiringi para dewa. Sesampai di Wiṣṇuloka mereka segera meminum amṛta itu. Oleh karena kesaktian amṛta itu mereka hidup abadi.
Dānawa anak Wipracitti yang menikah dengan Śinghikā mendengar tentang hal itu.
Ia mengambil rupa dewa, ikut minum amṛta itu. Candra dan Aditya yang mengetahui hal itu segera memberitahu Wiṣṇu. Ketika amṛta itu sampai di leher dānawa
itu, ia dicakra oleh Wiṣṇu, putus lehernya. Badannya jatuh ke
tanah bagaikan jatuhnya puncak gunung. Kepalanya melesat ke angkasa karena
kesaktian amṛta. Karena sakit hati dānawa
yang tinggal kepala itu mengancam Candra dan Aditya, akan memakan mereka setiap
parwakala[1].
Setelah mengetahui tentang garis besar cerita
Samudramantana,maka hari ini kami mencoba untuk meng-alihbahasa-kan sebagain
kecil dari cerita itu dari Bahasa Jawa Kuna ke dalam Bahasa Indonesia. Untuk
sedikit membantu maka dalam lembar yang dibagikan telah disediakan catatan
catatan tentang arti katanya.
SAMUDRA MANTHANA[2]
Mijil
tang miñak wĕkasan sangkeng pĕhan. Nā lwimya ng Ardhacandra rumuhun. Tumūt ta
bhațārī Çri, tumū tang sira çrī Laksmi - dewi, tumūt tang Uccaihçrawā, tumūt
tang Kastubhamaṇi.ndan
dumunung mareng dewata juga, tan hana mareng daitya. Wĕkasan mijil ta
Dhanwantari, angiṇḍit
çwetakamaṇḍalu, ikā kahanan amṛta. Yatikā inalap de ning
daitya: "Yeki dumana mami!" Mangkana lingnya an pojar, mahuwusan ikang
amṛta tĕlas umijil mangke, ikang
Mandara – parwata winaluyakĕn ira sthānanya ngūni ring Çangkadwīpa. Marāryan ta
sang watĕk dewata.
Mangangān
- angĕn ta bhaṭāra Wiṣṇu i marganing amṛta kālapa denira. Magawe ta sira
mayā strīrūpa, paripūrṇa
ring hayu, ḍatĕng manunggangi daityarūpa;
kapwa kākarṣaṇa ya katinghalan. Harṣa ta manah nikang daitya tumon
ikang strī. Winehakĕn ikang amṛta ring kamaṇḍalu, pangkunĕn ing strī māyā; Lunghā tang strīmāyā mawa ng amṛta, maluy Wiṣṇu.
Tuminghal
ikang daitya, krodha ta ya, kapwa sangrabdha sangkĕp ing sañjatanya, hanan
musala gadā tomara sināmbutnya, manututi sang hyang Wiṣṇu. Kawenangan ta sira ḍatĕng sarwadewatā makadi hyang
Brahmā, sang hyang Içwara, tumulung i sang hyang Wiṣṇu, matangkĕp ikang prang.
Catatan.
pĕhan
= air susu. rumuhun = mula2 , dahulu tumut = berikut (lalu).
dum =
duman = bagian. winaluyaken = dikembalikan sthāna = tempat berdiri.
Çrī dan Laksmī = keduanya çakti Wiṣṇu Kastubhamaṇi = permata çweta = putih kamaṇḍalu = tempayan kahanan = tempat mahuwusan = selesai inalap = dialap =
diambil
Mangangān – angĕn ; memikir - mikirkan. māyā = tak nyata
; bukan sewajarnya
kākarṣaṇa = gembira (?) harṣa = senang,
gembira sangrabhda .= siap sedia musala
= sejenis gada gada = gada ; senjata yang dipukulkan
tamara
= sejenis tombak kawenangan = ketahuan.
Petikan cerita yang hanya
beberapa baris tersebut, ternyata membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk
menyelesaikannya. He he he………
Relief samudramantana temuan dari candi sirahkencong photo dari KITLV |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar