Senin, 29 Februari 2016

SAMUDRA MANTHANA




Kisah Samudramantana dapat diikuti dalam kitab Ādiparwa JawaKuna. Kitab ini adalah saduran dalam bentuk prosa dari kitab pertama wīracarita Mahābhārata Sanskerta, yang  ditulis pada masa pemerintahan Dharmawangsa Tĕguh, akhir abad ke-10. Kitab ini terdiri atas dua bagian besar yakni cerita mengenai upacara kurban atas perintah raja Janamejaya sebagai sarana untuk memusnahkan para naga serta silsilah Pāṇḍawa dan Korawa, kelahiran dan masa muda mereka sampai dengan pernikahan Arjuna dengan Subhadrā.
Kisah samudramanthana terdapat pada bagian pertama yang mengisahkan riwayat para naga, termasuk dalam Astīkācarita. Kisah ini mengawali perselisihan antara kedua istri Kaśyapa, Winatā dan Kadrū, mengenai warna ekor kuda Ucchai˙śrawa yang muncul dari pengadukan laut itu.
Secara garis besar kisah Samudramanthana adalah sebagai berikut :
            Para dewa berunding di puncak Gunung Mahameru untuk membicarakan cara mendapatkan amta. Perundingan itu juga dihadiri oleh golongan daitya dan dānawa karena mereka pun ingin mendapatkan amta. Dalam perundingan itu Wiṣṇu memberitahu mereka agar mereka mengaduk Laut Kșīra. Maka mereka pun berangkat menuju Laut Kșīra.
            Ada sebuah gunung, Mandara namanya, berada di Pulau Śangkha, pulau yang berlaut Kșīra. Tinggi gunung itu sebelas ribu yojana, sedangkan luas lautnya seribu yojana. Gunung itulah yang dicabut oleh Anantabhoga, dijatuhkan ke Laut Kșīra sebagai alat untuk mengaduk laut itu. Para dewa segera memohon belas kasihan kepada Dewa Samudra agar membantu mereka. Dewa Samudra pun menyetujuinya.
            Ada raja kura-kura, Akūpa namanya, penjelmaan Wiṣṇu. Dialah yang disuruh menyangga Gunung Mandara supaya tidak tenggelam. Basuki menjadi tali, membelit lerengnya, sedangkan Indra menaiki puncaknya. Maka mulailah para dewa dan asura menarik Basuki. Para dewa menarik ekornya, sedangkan para asura menarik kepalanya. Ketika ditarik, keluarlah bisa dan api dari napas Basuki sehingga menyebabkan para asura tidak berdaya. Namun demikian mereka tetap giat berusaha agar segera mendapatkan amta. Semua berteriak-teriak. Gemuruh laut bagaikan guntur di saat pralaya, sangat memekakkan telinga.
            Karena Gunung Mandara terlalu lama diputar, banyak batu terlempar, banyak pohon yang roboh. Pohon-pohon saling bergesekan sehingga mengeluarkan api yang membakar hutan dan segala isinya.
Ikan di laut pun terlempar hanyut ke Laut Lawaa. Barua yang dicakra oleh Wiṣṇu berusaha mengecilkan diri dan menyusup ke pātāla, mabuk karena pengadukan Laut Kșīra, yang menjadi pekat seperti dimasak, matang karena panasnya api yang menyala di lereng Gunung Mandara dan percikan bisa yang keluar dari muka Basuki. Maka teringatlah Indra akan dewa dan asura yang kepanasan karena api itu sehingga mereka mengalami kesulitan memutar Gunung Mandara. Dipanggilnya awan dari segala arah sehingga gunung dan laut itu diliputi awan. Itulah yang dihujankannya sehingga dapat memadamkan api yang berkobar itu. Konon lemak binatang yang terbakar dan getah pohon-pohon itu hanyut sampai ke Laut Lawaa. Laut Kșīra pun semakin pekat. Para dewa dan asura pun semakin giat mengaduk karena sudah diberi kesaktian oleh Wiṣṇu.
            Keluarlah minyak dari lautan susu itu, diikuti arddhacandra, dewi Śrī, dewi Lakßmī, kuda Ucchaiśrawa, dan permata Kastubha. Semua itu menjadi milik dewa, tidak ada yang menjadi milik asura. Akhirnya keluarlah Dhanwantarī membawa śwetakamandalu yang berisi amta. Itulah yang diambil daitya karena mereka menganggapnya sebagai bagian mereka.
            Pengadukan laut Kșīra pun selesai. Mereka segera mengembalikan Gunung Mandara ke tempat semula. Para dewa pun beristirahat. Wiṣṇu memikirkan cara mendapatkan amta yang telah diambil oleh daitya. Ia menyamar sebagai wanita yang sangat cantik kemudian datang ke tempat para  daitya. Semua yang melihatnya pun tertarik. Demikian pula para daitya. Amta yang berada di dalam kamandalu itu diberikan kepadanya untuk dipangku. Maka wanita itu pergi membawa amta dan kembali menjadi Wiṣṇu.
Melihat hal itu marahlah para daitya. Semua segera mengejar Wiṣṇu dengan membawa berbagai macam senjata. Wiṣṇu sampai di tempat para dewa. Para dewa, seperti Brahma dan Iśwara, segera menolong Wiṣṇu. Perang pun tak terelakkan. Pertempuran itu terjadi di Pulau Sangkha, di tepi Laut Lawaa. Wiṣṇu berpikir bahwa perang itu tak akan berakhir karena mereka sama-sama sakti. Maka ia segera memanggil senjata cakranya. Keluarlah senjata itu dari angkasa, menyala bagaikan kobaran api. Daitya itu putus lehernya karena dicakra oleh Wiṣṇu. Beratus-ratus ribu daitya yang mati. Mereka yang selamat menyelam ke laut, bersembunyi di patala. Daitya dan raksasa pun kalah. Darahnya menjadi sungai, mengalir ke Laut Lawaa. Aditya pun menjadi merah karena merahnya darah itu. Bangkai daitya dan raksasa itu bagaikan gunung yang memerah karena lahar. Wiṣṇu segera pulang diiringi para dewa. Sesampai di Wiṣṇuloka mereka segera meminum amta itu. Oleh karena kesaktian amta itu mereka hidup abadi.
            Dānawa anak Wipracitti yang menikah dengan Śinghikā mendengar tentang hal itu. Ia mengambil rupa dewa, ikut minum amta itu. Candra dan Aditya yang mengetahui hal itu segera memberitahu Wiṣṇu. Ketika amta itu sampai di leher dānawa itu, ia dicakra oleh Wiṣṇu, putus lehernya. Badannya jatuh ke tanah bagaikan jatuhnya puncak gunung. Kepalanya melesat ke angkasa karena kesaktian amta. Karena sakit hati dānawa yang tinggal kepala itu mengancam Candra dan Aditya, akan memakan mereka setiap parwakala[1].

Setelah mengetahui tentang garis besar cerita Samudramantana,maka hari ini kami mencoba untuk meng-alihbahasa-kan sebagain kecil dari cerita itu dari Bahasa Jawa Kuna ke dalam Bahasa Indonesia. Untuk sedikit membantu maka dalam lembar yang dibagikan telah disediakan catatan catatan tentang arti katanya.

SAMUDRA MANTHANA[2]  
Mijil tang miñak wĕkasan sangkeng pĕhan. Nā lwimya ng Ardhacandra rumuhun. Tumūt ta bhațārī Çri, tumū tang sira çrī Laksmi - dewi, tumūt tang Uccaihçrawā, tumūt tang Kastubhamai.ndan dumunung mareng dewata juga, tan hana mareng daitya. Wĕkasan mijil ta Dhanwantari, angiṇḍit çwetakamaṇḍalu, ikā kahanan amta. Yatikā inalap de ning daitya: "Yeki dumana mami!" Mangkana lingnya an pojar, mahuwusan ikang amta tĕlas umijil mangke, ikang Mandara – parwata winaluyakĕn ira sthānanya ngūni ring Çangkadwīpa. Marāryan ta sang watĕk dewata.
Mangangān - angĕn ta bhaāra Wiṣṇu i marganing amta kālapa denira. Magawe ta sira mayā strīrūpa, paripūra ring hayu, atĕng manunggangi daityarūpa; kapwa kākaraa ya katinghalan. Hara ta manah nikang daitya tumon ikang strī. Winehakĕn ikang amta ring kamaṇḍalu, pangkunĕn ing strī māyā; Lunghā tang strīmāyā mawa ng amta, maluy Wiṣṇu.
Tuminghal ikang daitya, krodha ta ya, kapwa sangrabdha sangkĕp ing sañjatanya, hanan musala gadā tomara sināmbutnya, manututi sang hyang Wiṣṇu. Kawenangan ta sira atĕng sarwadewatā makadi hyang Brahmā, sang hyang Içwara, tumulung i sang hyang Wiṣṇu, matangkĕp ikang prang.

Catatan.
pĕhan = air susu.                    rumuhun = mula2 , dahulu                 tumut = berikut (lalu).
dum = duman = bagian.          winaluyaken = dikembalikan             sthāna = tempat berdiri. 
Çrī dan Laksmī = keduanya çakti Wiṣṇu                                         Kastubhamai = permata               çweta = putih                         kamaṇḍalu = tempayan                     kahanan = tempat                            mahuwusan = selesai             inalap = dialap = diambil                   
Mangangān – angĕn ; memikir - mikirkan.                                       māyā = tak nyata ; bukan sewajarnya
kākaraa = gembira (?)        hara = senang, gembira                    sangrabhda .= siap sedia                   musala = sejenis gada            gada = gada ; senjata yang dipukulkan
tamara = sejenis tombak        kawenangan = ketahuan.

Untuk lebih lengkap mengetahui arti kata kata dalam petikan di atas dapat dicari lebih banyak pada Kamus jawa kuna online di sini

Petikan cerita yang hanya beberapa baris tersebut, ternyata membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk menyelesaikannya. He he he………

Relief samudramantana temuan dari candi sirahkencong
photo dari KITLV



[1] Ringkasan Samudramantana di ambil dari artikel Yosephine Apriastuti, file power point, tidak diterbitkan.
[2] Ki Hadiwidjana, 1954. Sarwaçāstra, kitab peladjaran dan latihan Bahasa Djawa Kuna = Kawi, Djilid II, Tjetakan ketiga, UP Indonesia NV, Jogja hal. 38-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar