Setelah teman
teman ngumpul di sebuah pompa bensin, tempat yang disepakati untuk ngumpul
sebelum ke Cunggrang, maka sekitar jam 09.00 WIB berangkatlah kami bersama sama
ke lokasi prasasti Cunggrang di Dusun Sukci, Desa
Bulusari, Kecamatan Gempol, Pasuruan Jawa timur. Bertanya ke beberapa orang,
sampailah kami di sana.
Melepas lelah
sejenak, maka kamipun mulai “berdiskusi” kecil tentang prasasti ini.
Tulisan
pada batu ini khas bergaya prasasti prasasti dari masa Sindok. Pahatan yang
tegas dan dalam dengan masih bergaya huruf dari masa sebelumnya. Pahatan dan
gaya hurufnya akan sangat berbeda pada prasasti prasasti masa selanjutnya, yang
akan dipelajari dalam pertemuan pertemuan selanjutnya.
Detil huruf prasasti Cunggrang |
Dari catatan JLA
Brandes dalam OJO XLI, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1836
Prasasti
Cunggrang dikeluarkan pada hari Jumat Pahing tanggal 12 Suklapaksa bulan Asuji
tahun 851 Saka atau 18 September 929. Raja yang memerintahkan pembuatan
prasasti ini adalah Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama
Dharmmotungga. Perintah itu berisi penetapan desa Cunggrang yang termasuk
wilayah Bawang untuk menjadi sima (daerah otonom) yang dipersembahkan kepada
Sang Hyang Dharmma di Pawitra serta di Sang Hyang Silunglung Sang Siddha Dewata[1].
Rakryan (Bawa)ng Dyah Kbi diperbolehkan menetapkan sima bagi Sang Hyang Dharmma
Pa(tapa)n dan Sang Hyang Prasada Silunglung Sang Dewata.
Prasasti yang
sama namun dalam bentuk material yang berbeda yakni dari logam, juga ditemukan
di daerah Malang, dari pembacaan Stuterheim diketahui bahwa kalimat dalam
prasasti logam itu lebih lengkap dibandingkan dengan kalimat kalimat yang
terukir pada batu di Cunggrang ini[2].
Hal ini sangat mungkin karena tingkat keausan batu akan lebih gampang
dibandingkan dengan tingkat keausan logam, apalagi batu yang digunakan untuk
memahat kalimat kalimat dalam prasasti ini terbuat dari batuan yang lebih
banyak mengandung pasir. Prasasti ini juga untuk pertama kalinya menyebutkan
nama lama dari Penanggungang yakni Pawitra.
Kegiatan
selanjutnya adalah belajar membuat absklat dari prasasti ini. Absklat adalah
bentuk cetakan kertas yang hasilnya adalah bentuk negative dari tulisan yang
ada di prasasti. Artinya, ketika kita akan membaca bentuk cetakan itu, kita
harus menggunakan kaca agar dapat membaca dengan baik. Cara dengan hasil
negative ini sebenarnya adalah cara yang lama, cara yang baru adalah dengan
cara mencetak dengan menggunakan tinta, akan tetapi karena diperlukan tinta dan
kertas yang khusus, maka untuk pelatihan kali ini cukuplah dengan menggunakan
kertas ketela yang banyak di jual di took. Pada intinya kami belajar salah satu
cara untuk mendokumentasikan prasasti.
Praktek cara membuat absklat dengan kertas. photonya mbak Laurentia. |
Mencoba membaca prasasti masih photonya mbak Laurentia |
Hasil absklat.....bukan dari prasasti ini photone mas Wisnu (mungkin) |
Detil hasil absklat masih photonya mbak Laurentia |
Kam di Cunggrang photonya mbak Laurentia lagi |
Setelah selesai
di Cunggrang dan selalu di akhiri dengan photo bersama, kami meneruskan langkah
menuju gapura belahan di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan. Melewati
jalan naik turun dengan pemandangan yang lumayan bagus, meski banyak debu,
sampailah kami di halaman masjid untuk yang bermobil atau di halaman rumah
penduduk yang dengan ramah mempersilahkan kami memarkir kendaraan kami di sana.
Dan dengan menyusuri jalan setapak yang cukup lumayan untuk yang tidak terbiasa
berjalan kaki, sampailah kami di Gapura Lanang dan gapura Wadon. Gapura
berbentuk paduraksa dengan material dari Bata. Gapura lanang berada di dekat
kuburan tua yang entah masih digunakan atau tidak. Beberapa ratus meter dari
gapura Lanang, terdapat gapura Wadon. Di sekitarnya gapura Wadon terdapat
gundukan bata yang kemungkinan dahulu adalah sebuah bangunan serta talud talud
dari bata yang mengitari reruntuhan itu.
Gapura Lanang photonya mas Adjie |
Gapura Wadon photonya mas Wahyu |
Mencoba menafsir keberadaan bangunan berdasar peta maaf ini photo siapa ya??? |
Struktur tembok bata di sekitar gapura belahan maaf ini photo milik ya??? |
Masih tentang struktur tembok bata di sekitar gapura belahan dan masih belum tahu ini photo milik ya??? |
Dari peta pada article yang pernah di
buat Th Resink di ketahui bahwa beberapa puluh meter dari gapura wadon (B) pernah
terdapat sebuah kolam yang sekarang sudah tidak ada lagi[3],
mungkin tertutup longsoran tanah. Lokasi kedua gapura ini memang berada pada
tanah berbukit.
Photo di gapura Lanang photonya mas Setiyo |
Behind the scene photo gapura lanang photonya mas Wisnu |
Berphoto adalah
semacam keharusan bagi kelompok kami, maka berphotolah kami di sana, dan
kebetulan pula sedang musim mangga, maka dari pohon yang entah milik siapa,
kamipun “memanen”mangga. Lumayan, haus terobati he he he…..
Dari gapura
Belahan kami menuju ke Patirtan Belahan atau yang oleh penduduk sekitar lebih
dikenal dengan candi Sumber Tetek. Sebutan ini lebih merujuk pada adanya air
yang mengalir keluar dari payudara salah satu arca yang berada di patirtan itu.
Sumber air dan kolam di depannya, digunakan oleh penduduk sekitar untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan air sehari hari. Di patirtan ini terdapat dua
buah arca perempuan yang di anggap sebagai Sri dan Laksmi. Dari bagian payudara
Laksmi mengucur air yang berasal dari pipa di belakang tembok tempat kedua arca
ini berada. Patirtan ini disebut sebagai Belahan I ( F ) berada di titik selatan kompleks dan merupakan yang tertinggi kedua suaka. Pada dinding barat terdapat arca perempuan berlengan empat, Tingginya sekitar 1,90 meter , yang berdiri pada relung, masing-masing adalah dewi Laksmi dan Çri. Arca Garuda dan Wisnu di atasnya yang sekarang berada di museum Trowulan dipercaya berasal dari tempat ini.
Air yang mengucur dari arca Laksmi photonya mbak Laurentia |
Arca Sri dan Laksmi di Patirtan Belahan photonya mbak Laurentia |
Relief seorang tokoh di sebelah kiri relung arca Sri photo Goenawan |
Arca Sri photo Goenawan |
Arca Laksmi photo Goenawan |
Di patirtan ini
ditemukan pula relief arca yang dapat dibaca sebagai saat terjadinya gerhana.
Pada sisi mukanya, sebuah relief bergambar Kala berambut ikal yang
memenuhi bidang atas batu ini; Kala ini tanpa tubuh dan kaki, tetapi
mempunyai dua tangan yang sedang menggenggam dan menggigit sesuatu berbentuk
bulat dan berlubang. Ada tiga mahluk kayangan terbang melayang di sekitar
kepala Kala; yang satu berada di atas kepala, dua mahluk lagi berada di
bagian bawah. Dua kepala mahluk kayangan ini sepertinya menyatu dengan sesuatu
yang berbentuk bulat tadi.
Berdasarkan hal
itu beberapa sarjana arkeologi membaca sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti
di petirtaan Belahan sebagai: Candra sinahut Kala (Rahu) atau “(Dewi)
Bulan digigit Kala (Rahu). Sĕngkalan itu bermakna: 1 (Candra = Bulan), 3
(sinahut = digigit) 9 (Kala Rahu). Angka keseluruhan menunjukkan angka
tahun 931 Saka atau 1009 M. Sĕngkalan mĕmĕt tersebut menunjukkan
peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu, yaitu peristiwa gerhana Bulan.
Mengapa gerhana Bulan? Bukan gerhana Matahari? Padahal relief pada batu
prasasti itu menunjukkan dua mahluk kayangan, Surya (Matahari)
dan Candra (Bulan), yang kepalanya berbentuk piringan bundar itu
digigit Kala Rahu. Pada relief itu jelas menggambarkan Kala
Rahu yang menangkap dan menggigit hendak menelan dua mahluk kayangan yang
kepalanya berbentuk bulat seperti piringan Bulan dan Matahari. Mereka adalah
Dewi Candra dan Dewa Surya, yang ketika ditelan oleh Kala Rahu
mengakibatkan terjadi gerhana Bulan dan Matahari.
Cerita ini dapat
ditemukan dalam
Samudramantana dari kitab Adiparwa. Raksasa anak Wipracitti, menyusup
di antara para dewa untuk mengantri minum air kehidupan abadi (Amrta)
hasil pengadukan lautan susu. Penyusupan
itu tidak diketahui para dewa selain dewa Candrāditya, karena raksasa itu
menyaru menjadi dewa. Ketika tiba saat giliran si dewa penyusup itu meminum
Amrta, melaporlah sang dewa Candrāditya pada dewa Wisnu, bahwa ada dewa jadi
jadian ikut antri dalam meminum Amrta. Segera dewa Wisnu melepaskan cakra-nya
hingga menebas leher sang dewa palsu itu. Namun karena Amrta telah terlanjur
diminum hingga ke leher maka abadilah bagian kepala si Raksasa. Tubuhnya yang
belum tersentuh Amrta melayang di udara dan jatuh ke bumi. Sakit hati karena
laporan dewa Candrāditya kepada Wisnu menyebabkannya gagal menjadi abadi, maka
kepala raksasa itu selalu mencari kesempatan untuk membalas dendamnya kepada
dewa Candrāditya dengan cara memakannya hingga terjadilah gerhana.
Untuk
mengalihkan perhatian Kala Rahu itu, masyarakat Jawa dan Bali biasanya
memukul-mukul kentongan/lesung agar ia mengurungkan niatnya menelan Bulan
ataupun Matahari. Kalaupun berhasil ditelan oleh Kala Rahu, tentunya ia
akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.
Sengkalan memet candra sinahut rahu ini photo milik siapa ya???? sayang botol tempat dupa itu belum sempat di singkirkan dulu. |
mas Bagus Tebe yang ambil gambarnya... |
Pustaka
·
Edhie
Wuryantoro 2003, Struktur pemerintahan kerajaan Mataram di Jawa Timur
berdasarkan data prasasti abad ke-10. Laporan Penelitian, Pusat Pengembangan
Penelitian F.Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta
·
WF
Stutterheim, Een Oorkonde op koper uit het Singasarische dalam TBG 1925-Deel 65
hal 208 – 281
·
Th.
A. Resink, Bĕlahan or a Myth Dispelled dalam seap.indo.Volume 6 October 1968
·
Trigangga, Prasasti di Petirtaan Belahan: Catatan
Peristiwa Gerhana Bulan? Makalah dalam Seminar Internasional Epigrafi dan
Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar