Minggu, 28 Februari 2016

Dolan ke lapangan…..



 Mempelajari prasasti rasanya tidak afdol kalau tidak melihat langsung prasasti yang masih “in situ”. Atas dasar itu maka, di acara sinau Jawa Kuna bulan November ini, kami bersepakat untuk mengunjungi prasasti Cunggrang, dan berhubung tempatnya dekat, sekalian ke patirtan dan gapura Belahan.


Setelah teman teman ngumpul di sebuah pompa bensin, tempat yang disepakati untuk ngumpul sebelum ke Cunggrang, maka sekitar jam 09.00 WIB berangkatlah kami bersama sama ke lokasi prasasti Cunggrang di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Pasuruan Jawa timur. Bertanya ke beberapa orang, sampailah kami di sana.
Melepas lelah sejenak, maka kamipun mulai “berdiskusi” kecil tentang prasasti ini. 


Tulisan pada batu ini khas bergaya prasasti prasasti dari masa Sindok. Pahatan yang tegas dan dalam dengan masih bergaya huruf dari masa sebelumnya. Pahatan dan gaya hurufnya akan sangat berbeda pada prasasti prasasti masa selanjutnya, yang akan dipelajari dalam pertemuan pertemuan selanjutnya.

Detil  huruf prasasti Cunggrang
Dari catatan JLA Brandes dalam OJO XLI, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1836
Prasasti Cunggrang dikeluarkan pada hari Jumat Pahing tanggal 12 Suklapaksa bulan Asuji tahun 851 Saka atau 18 September 929. Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ini adalah Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotungga. Perintah itu berisi penetapan desa Cunggrang yang termasuk wilayah Bawang untuk menjadi sima (daerah otonom) yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Dharmma di Pawitra serta di Sang Hyang Silunglung Sang Siddha Dewata[1]. Rakryan (Bawa)ng Dyah Kbi diperbolehkan menetapkan sima bagi Sang Hyang Dharmma Pa(tapa)n dan Sang Hyang Prasada Silunglung Sang Dewata.
Prasasti yang sama namun dalam bentuk material yang berbeda yakni dari logam, juga ditemukan di daerah Malang, dari pembacaan Stuterheim diketahui bahwa kalimat dalam prasasti logam itu lebih lengkap dibandingkan dengan kalimat kalimat yang terukir pada batu di Cunggrang ini[2]. Hal ini sangat mungkin karena tingkat keausan batu akan lebih gampang dibandingkan dengan tingkat keausan logam, apalagi batu yang digunakan untuk memahat kalimat kalimat dalam prasasti ini terbuat dari batuan yang lebih banyak mengandung pasir. Prasasti ini juga untuk pertama kalinya menyebutkan nama lama dari Penanggungang yakni Pawitra.
Kegiatan selanjutnya adalah belajar membuat absklat dari prasasti ini. Absklat adalah bentuk cetakan kertas yang hasilnya adalah bentuk negative dari tulisan yang ada di prasasti. Artinya, ketika kita akan membaca bentuk cetakan itu, kita harus menggunakan kaca agar dapat membaca dengan baik. Cara dengan hasil negative ini sebenarnya adalah cara yang lama, cara yang baru adalah dengan cara mencetak dengan menggunakan tinta, akan tetapi karena diperlukan tinta dan kertas yang khusus, maka untuk pelatihan kali ini cukuplah dengan menggunakan kertas ketela yang banyak di jual di took. Pada intinya kami belajar salah satu cara untuk mendokumentasikan prasasti.
Praktek cara membuat absklat dengan kertas.
photonya mbak Laurentia.
Mencoba membaca prasasti
masih photonya mbak Laurentia











Hasil absklat.....bukan dari prasasti ini
photone mas Wisnu (mungkin)
Detil hasil absklat
masih photonya mbak Laurentia































Kam di Cunggrang
photonya mbak Laurentia lagi

Setelah selesai di Cunggrang dan selalu di akhiri dengan photo bersama, kami meneruskan langkah menuju gapura belahan di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan. Melewati jalan naik turun dengan pemandangan yang lumayan bagus, meski banyak debu, sampailah kami di halaman masjid untuk yang bermobil atau di halaman rumah penduduk yang dengan ramah mempersilahkan kami memarkir kendaraan kami di sana. Dan dengan menyusuri jalan setapak yang cukup lumayan untuk yang tidak terbiasa berjalan kaki, sampailah kami di Gapura Lanang dan gapura Wadon. Gapura berbentuk paduraksa dengan material dari Bata. Gapura lanang berada di dekat kuburan tua yang entah masih digunakan atau tidak. Beberapa ratus meter dari gapura Lanang, terdapat gapura Wadon. Di sekitarnya gapura Wadon terdapat gundukan bata yang kemungkinan dahulu adalah sebuah bangunan serta talud talud dari bata yang mengitari reruntuhan itu. 

Gapura Lanang
photonya mas Adjie
Gapura Wadon
photonya mas Wahyu
Mencoba menafsir keberadaan bangunan berdasar peta
maaf ini photo siapa ya???

Struktur tembok bata di sekitar gapura belahan
maaf ini photo milik  ya???

Masih tentang struktur tembok bata di sekitar gapura belahan
dan masih belum tahu ini photo milik  ya???

Dari peta pada article yang pernah di buat Th Resink di ketahui bahwa beberapa puluh meter dari gapura wadon (B) pernah terdapat sebuah kolam yang sekarang sudah tidak ada lagi[3], mungkin tertutup longsoran tanah. Lokasi kedua gapura ini memang berada pada tanah berbukit.   
Photo di gapura Lanang
photonya mas Setiyo
Behind the scene photo gapura lanang
photonya mas Wisnu













Berphoto adalah semacam keharusan bagi kelompok kami, maka berphotolah kami di sana, dan kebetulan pula sedang musim mangga, maka dari pohon yang entah milik siapa, kamipun “memanen”mangga. Lumayan, haus terobati he he he…..
Panen mangga entah milik siapa
photonya mas Setiyo

Dari gapura Belahan kami menuju ke Patirtan Belahan atau yang oleh penduduk sekitar lebih dikenal dengan candi Sumber Tetek. Sebutan ini lebih merujuk pada adanya air yang mengalir keluar dari payudara salah satu arca yang berada di patirtan itu. Sumber air dan kolam di depannya, digunakan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air sehari hari. Di patirtan ini terdapat dua buah arca perempuan yang di anggap sebagai Sri dan Laksmi. Dari bagian payudara Laksmi mengucur air yang berasal dari pipa di belakang tembok tempat kedua arca ini berada. Patirtan ini disebut sebagai Belahan I ( F ) berada di titik selatan kompleks dan merupakan yang tertinggi kedua suaka. Pada dinding barat terdapat arca perempuan berlengan empat, Tingginya sekitar 1,90 meter , yang berdiri pada relung, masing-masing adalah dewi Laksmi dan Çri. Arca Garuda dan Wisnu di atasnya yang sekarang berada di museum Trowulan dipercaya berasal dari tempat ini.
Air yang mengucur dari arca Laksmi
photonya mbak Laurentia
Arca Sri dan Laksmi di Patirtan Belahan
photonya mbak Laurentia

Relief seorang tokoh di sebelah kiri relung arca Sri
photo Goenawan

Arca Sri
photo Goenawan
Arca Laksmi
photo Goenawan

Di patirtan ini ditemukan pula relief arca yang dapat dibaca sebagai saat terjadinya gerhana. Pada sisi mukanya, sebuah relief bergambar Kala berambut ikal yang memenuhi bidang atas batu ini; Kala ini tanpa tubuh dan kaki, tetapi mempunyai dua tangan yang sedang menggenggam dan menggigit sesuatu berbentuk bulat dan berlubang. Ada tiga mahluk kayangan terbang melayang di sekitar kepala Kala; yang satu berada di atas kepala, dua mahluk lagi berada di bagian bawah. Dua kepala mahluk kayangan ini sepertinya menyatu dengan sesuatu yang berbentuk bulat tadi.
Berdasarkan hal itu beberapa sarjana arkeologi membaca sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti di petirtaan Belahan sebagai: Candra sinahut Kala (Rahu) atau “(Dewi) Bulan digigit Kala (Rahu). Sĕngkalan itu bermakna: 1 (Candra = Bulan), 3 (sinahut = digigit) 9 (Kala Rahu). Angka keseluruhan menunjukkan angka tahun 931 Saka atau 1009 M. Sĕngkalan mĕmĕt tersebut menunjukkan peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu, yaitu peristiwa gerhana Bulan. Mengapa gerhana Bulan? Bukan gerhana Matahari? Padahal relief pada batu prasasti itu menunjukkan dua mahluk kayangan, Surya (Matahari) dan Candra (Bulan), yang kepalanya berbentuk piringan bundar itu digigit Kala Rahu. Pada relief itu jelas menggambarkan Kala Rahu yang menangkap dan menggigit hendak menelan dua mahluk kayangan yang kepalanya berbentuk bulat seperti piringan Bulan dan Matahari. Mereka adalah Dewi Candra dan Dewa Surya, yang ketika ditelan oleh Kala Rahu mengakibatkan terjadi gerhana Bulan dan Matahari.
Cerita ini dapat ditemukan dalam Samudramantana dari kitab Adiparwa. Raksasa anak Wipracitti, menyusup di antara para dewa untuk mengantri minum air kehidupan abadi (Amrta) hasil  pengadukan lautan susu. Penyusupan itu tidak diketahui para dewa selain dewa Candrāditya, karena raksasa itu menyaru menjadi dewa. Ketika tiba saat giliran si dewa penyusup itu meminum Amrta, melaporlah sang dewa Candrāditya pada dewa Wisnu, bahwa ada dewa jadi jadian ikut antri dalam meminum Amrta. Segera dewa Wisnu melepaskan cakra-nya hingga menebas leher sang dewa palsu itu. Namun karena Amrta telah terlanjur diminum hingga ke leher maka abadilah bagian kepala si Raksasa. Tubuhnya yang belum tersentuh Amrta melayang di udara dan jatuh ke bumi. Sakit hati karena laporan dewa Candrāditya kepada Wisnu menyebabkannya gagal menjadi abadi, maka kepala raksasa itu selalu mencari kesempatan untuk membalas dendamnya kepada dewa Candrāditya dengan cara memakannya hingga terjadilah gerhana.
Untuk mengalihkan perhatian Kala Rahu itu, masyarakat Jawa dan Bali biasanya memukul-mukul kentongan/lesung agar ia mengurungkan niatnya menelan Bulan ataupun Matahari. Kalaupun berhasil ditelan oleh Kala Rahu, tentunya ia akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.

 
Sengkalan memet candra sinahut rahu
ini photo milik siapa ya????
sayang botol tempat dupa itu belum sempat di singkirkan dulu.
mas Bagus Tebe yang ambil gambarnya...
dan sebelum bubar karena hari mulai sore, sekali lagi kami berphoto bersama

Pustaka
·         Edhie Wuryantoro 2003, Struktur pemerintahan kerajaan Mataram di Jawa Timur berdasarkan data prasasti abad ke-10. Laporan Penelitian, Pusat Pengembangan Penelitian F.Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta
·         WF Stutterheim, Een Oorkonde op koper uit het Singasarische dalam TBG 1925-Deel 65 hal 208 – 281
·         Th. A. Resink, Bĕlahan or a Myth Dispelled dalam seap.indo.Volume 6 October 1968
·         Trigangga, Prasasti di Petirtaan Belahan: Catatan Peristiwa Gerhana Bulan? Makalah dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012
·          





[1] Edhie Wuryantoro, Struktur pemerintahan kerajaan Mataram di Jawa Timur berdasarkan data prasasti abad ke-10. Hal 5
[2] WF Stutterheim, Een Oorkonde op koper uit het Singasarische. Hal 231 - 238
[3] Th. A. Resink, Bĕlahan or a Myth Dispelled hal 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar