Senin, 29 Februari 2016

Dokumentasi prasasti

Bagi para Epigraf, prasasti sangat membantu untuk memecahkan misteri yang mungkin tersembunyi. Prof Casparis pernah menulis, prasasti merupakan tulang punggung penulisan sejarah kuno Indonesia Prasasti dapat menceritakan kisahnya jika dilalui dengan benar tahapan analisisnya[1]
Dasar Analisis Prasasti biasanya melalui tahapan:
Kritik ekstern (deskripsi prasasti) adalah tahap penelitian berdasarkan liputan fisik, umumnya berhubungan dengan hal hal yang dapat dilihat langsung, seperti bahan, lingkungan, lokasi keberadaan prasasti, lencana, pemilik maupun jumlah lempeng (apabila lempengan), ukuran, aksara dan keadaaan prasasti.
Jumlah lempeng; pada prasasti dengan lempengan dengan jumlah banyak, pastikan apakah ditulis dikedua sisi atau hanya satu sisi. Biasanya, meskipun tidak selalu, ada nomor lempeng pada setiap pinggirannya.  berupa deskripsi bentuk, bahan, jenis aksara, Sedangkan kritik intern adalah tahap kerja yang dilakukan berdasarkan hasil liputan data lapangan yang berupa faksimili, yaitu alihaksara dan alihbahasa/terjemahan. Hasil analisis kritik esktern berupa analitis bentuk/jenis, analisis bahan, dan analisis aksara yang hasilnya berupa penafsiran kronologi. Analisis kritik intern akan menghasilkan analisis identitas melalui pesan/isi prasasti, berupa penafsiran aspek ekonomi, sosial, birokrasi/hukum, dan sebagainya[2]
Tahapan terakhir yaitu historiografi, yang merupakan kumpulan keseluruhan data yang telah diteliti dan dilakukan kajian banding untuk dimasukkan sebagai kesatuan pelengkap dalam merangkai deretan kerangka sejarah di Indonesia.
Kali ini kami belajar tentang cara yang pernah di lakukan para pendahulu peneliti sebelum kamera gampang di bawa dan photo sangat mudah dilakukan.
…………….Rubbing prasasti…………..

Menggosok untuk memunculkan huruf dalam prasasti
tspi bukan gesek ala samsat lho yaaaa......:P
Yang muda yang mau mencoba.....


 Rubbing prasasti adalah salah satu cara mendokumentasikan sebuah prasasti terutama yang terbuat dari logam. Cara ini sama seperti yang sering dilakukan anak anak ketika mereka membuat gambar dengan cara menggosok permukaan uang logam misalnya.
Kali ini kami menggunakan kertas roti dan kertas….he he he gak tahu apa namanya, yang mudah di dapat, cukup tipis namun lumayan tahan robek.
Setelah prasasti yang akan di buat salinannya di ukur, mulailah dilakukan teknik gesek dan gosok dengan menggunakan pensil yang lunak namun mempunyai tingkat “kehitaman”yang cukup tinggi. Kami menggunakan pensil yang biasa di gunakan oleh tukang bangunan.
Hasil rubbing.....he he he coba lagi ya mas...

















Posisi kertas harus dibuat sedemikian sehingga tidak mudah bergeser atau terdapat lengkungan udara, karena hal itu akan mempengaruhi hasil dari salinan yang dibuat, Salinan yang kurang baik hasilnya akan mengakibatkan hasil yang kurang baik pula dalam pembacaan prasasti nantinya.
Semua proses ini diharapkan dan sangat di haruskan untuk menggunakan sarung tangan, untuk menjaga keringat tangan tidak menempel pada prasasti logam, karena unsur kimia dalam keringat dapat “merusak”kondisi prasasti.
Proses salinan yang dilakukan teman teman komunitas, tidak serta merta berhasil, diperlukan tingkat kesabaran dan ketelatenan yang cukup tinggi untuk menghasilkan hasil yang sempurna. Beberapa kali percobaan yang gagal tidak membuat mereka menyerah dan mengulang kembali…………..









Hari ini kami hanya sekedar membuat salinan prasasti untuk kami baca dalam pertemuan selanjutnya…………..
Photo hitam putih hasil jepretan mas Deddy


Beberapa teman memotong alur dokumentasi dengan cara yang lebih modern yakni dengan memphoto prasasti itu untuk kemudian di perbesar dan dibaca melalui computer ataupun gadget yang dibawa. Beberapa menghasilkan photo berwarna namun ada pula yang hitam putih. Photo hitam putih memperlihatkan hasil yang lebih sempurna untuk dibaca dibandingkan photo berwarna karena gradasi warna logam prasasti akibat patina atau kotoran lain dapat dihilangkan. Penyetelan kontras dan ketajaman kamera yang tepat cukup membantu mendapatkan detailnya.





[1] J.G.de Casparis, 1975. Indonesia Palaeography; A History of Writting in Indonesia from the Beginnings to Century AD. 1500, dalam: Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln, E.J.Brill.
[2] Djoko Dwiyanto, 1993. Metode Penelitian Epigrafi dalam Arkeologi, ARTEFAK, Hima, Yogyakarta, FS UGM hal 7

SAMUDRA MANTHANA




Kisah Samudramantana dapat diikuti dalam kitab Ādiparwa JawaKuna. Kitab ini adalah saduran dalam bentuk prosa dari kitab pertama wīracarita Mahābhārata Sanskerta, yang  ditulis pada masa pemerintahan Dharmawangsa Tĕguh, akhir abad ke-10. Kitab ini terdiri atas dua bagian besar yakni cerita mengenai upacara kurban atas perintah raja Janamejaya sebagai sarana untuk memusnahkan para naga serta silsilah Pāṇḍawa dan Korawa, kelahiran dan masa muda mereka sampai dengan pernikahan Arjuna dengan Subhadrā.
Kisah samudramanthana terdapat pada bagian pertama yang mengisahkan riwayat para naga, termasuk dalam Astīkācarita. Kisah ini mengawali perselisihan antara kedua istri Kaśyapa, Winatā dan Kadrū, mengenai warna ekor kuda Ucchai˙śrawa yang muncul dari pengadukan laut itu.
Secara garis besar kisah Samudramanthana adalah sebagai berikut :
            Para dewa berunding di puncak Gunung Mahameru untuk membicarakan cara mendapatkan amta. Perundingan itu juga dihadiri oleh golongan daitya dan dānawa karena mereka pun ingin mendapatkan amta. Dalam perundingan itu Wiṣṇu memberitahu mereka agar mereka mengaduk Laut Kșīra. Maka mereka pun berangkat menuju Laut Kșīra.
            Ada sebuah gunung, Mandara namanya, berada di Pulau Śangkha, pulau yang berlaut Kșīra. Tinggi gunung itu sebelas ribu yojana, sedangkan luas lautnya seribu yojana. Gunung itulah yang dicabut oleh Anantabhoga, dijatuhkan ke Laut Kșīra sebagai alat untuk mengaduk laut itu. Para dewa segera memohon belas kasihan kepada Dewa Samudra agar membantu mereka. Dewa Samudra pun menyetujuinya.
            Ada raja kura-kura, Akūpa namanya, penjelmaan Wiṣṇu. Dialah yang disuruh menyangga Gunung Mandara supaya tidak tenggelam. Basuki menjadi tali, membelit lerengnya, sedangkan Indra menaiki puncaknya. Maka mulailah para dewa dan asura menarik Basuki. Para dewa menarik ekornya, sedangkan para asura menarik kepalanya. Ketika ditarik, keluarlah bisa dan api dari napas Basuki sehingga menyebabkan para asura tidak berdaya. Namun demikian mereka tetap giat berusaha agar segera mendapatkan amta. Semua berteriak-teriak. Gemuruh laut bagaikan guntur di saat pralaya, sangat memekakkan telinga.
            Karena Gunung Mandara terlalu lama diputar, banyak batu terlempar, banyak pohon yang roboh. Pohon-pohon saling bergesekan sehingga mengeluarkan api yang membakar hutan dan segala isinya.
Ikan di laut pun terlempar hanyut ke Laut Lawaa. Barua yang dicakra oleh Wiṣṇu berusaha mengecilkan diri dan menyusup ke pātāla, mabuk karena pengadukan Laut Kșīra, yang menjadi pekat seperti dimasak, matang karena panasnya api yang menyala di lereng Gunung Mandara dan percikan bisa yang keluar dari muka Basuki. Maka teringatlah Indra akan dewa dan asura yang kepanasan karena api itu sehingga mereka mengalami kesulitan memutar Gunung Mandara. Dipanggilnya awan dari segala arah sehingga gunung dan laut itu diliputi awan. Itulah yang dihujankannya sehingga dapat memadamkan api yang berkobar itu. Konon lemak binatang yang terbakar dan getah pohon-pohon itu hanyut sampai ke Laut Lawaa. Laut Kșīra pun semakin pekat. Para dewa dan asura pun semakin giat mengaduk karena sudah diberi kesaktian oleh Wiṣṇu.
            Keluarlah minyak dari lautan susu itu, diikuti arddhacandra, dewi Śrī, dewi Lakßmī, kuda Ucchaiśrawa, dan permata Kastubha. Semua itu menjadi milik dewa, tidak ada yang menjadi milik asura. Akhirnya keluarlah Dhanwantarī membawa śwetakamandalu yang berisi amta. Itulah yang diambil daitya karena mereka menganggapnya sebagai bagian mereka.
            Pengadukan laut Kșīra pun selesai. Mereka segera mengembalikan Gunung Mandara ke tempat semula. Para dewa pun beristirahat. Wiṣṇu memikirkan cara mendapatkan amta yang telah diambil oleh daitya. Ia menyamar sebagai wanita yang sangat cantik kemudian datang ke tempat para  daitya. Semua yang melihatnya pun tertarik. Demikian pula para daitya. Amta yang berada di dalam kamandalu itu diberikan kepadanya untuk dipangku. Maka wanita itu pergi membawa amta dan kembali menjadi Wiṣṇu.
Melihat hal itu marahlah para daitya. Semua segera mengejar Wiṣṇu dengan membawa berbagai macam senjata. Wiṣṇu sampai di tempat para dewa. Para dewa, seperti Brahma dan Iśwara, segera menolong Wiṣṇu. Perang pun tak terelakkan. Pertempuran itu terjadi di Pulau Sangkha, di tepi Laut Lawaa. Wiṣṇu berpikir bahwa perang itu tak akan berakhir karena mereka sama-sama sakti. Maka ia segera memanggil senjata cakranya. Keluarlah senjata itu dari angkasa, menyala bagaikan kobaran api. Daitya itu putus lehernya karena dicakra oleh Wiṣṇu. Beratus-ratus ribu daitya yang mati. Mereka yang selamat menyelam ke laut, bersembunyi di patala. Daitya dan raksasa pun kalah. Darahnya menjadi sungai, mengalir ke Laut Lawaa. Aditya pun menjadi merah karena merahnya darah itu. Bangkai daitya dan raksasa itu bagaikan gunung yang memerah karena lahar. Wiṣṇu segera pulang diiringi para dewa. Sesampai di Wiṣṇuloka mereka segera meminum amta itu. Oleh karena kesaktian amta itu mereka hidup abadi.
            Dānawa anak Wipracitti yang menikah dengan Śinghikā mendengar tentang hal itu. Ia mengambil rupa dewa, ikut minum amta itu. Candra dan Aditya yang mengetahui hal itu segera memberitahu Wiṣṇu. Ketika amta itu sampai di leher dānawa itu, ia dicakra oleh Wiṣṇu, putus lehernya. Badannya jatuh ke tanah bagaikan jatuhnya puncak gunung. Kepalanya melesat ke angkasa karena kesaktian amta. Karena sakit hati dānawa yang tinggal kepala itu mengancam Candra dan Aditya, akan memakan mereka setiap parwakala[1].

Setelah mengetahui tentang garis besar cerita Samudramantana,maka hari ini kami mencoba untuk meng-alihbahasa-kan sebagain kecil dari cerita itu dari Bahasa Jawa Kuna ke dalam Bahasa Indonesia. Untuk sedikit membantu maka dalam lembar yang dibagikan telah disediakan catatan catatan tentang arti katanya.

SAMUDRA MANTHANA[2]  
Mijil tang miñak wĕkasan sangkeng pĕhan. Nā lwimya ng Ardhacandra rumuhun. Tumūt ta bhațārī Çri, tumū tang sira çrī Laksmi - dewi, tumūt tang Uccaihçrawā, tumūt tang Kastubhamai.ndan dumunung mareng dewata juga, tan hana mareng daitya. Wĕkasan mijil ta Dhanwantari, angiṇḍit çwetakamaṇḍalu, ikā kahanan amta. Yatikā inalap de ning daitya: "Yeki dumana mami!" Mangkana lingnya an pojar, mahuwusan ikang amta tĕlas umijil mangke, ikang Mandara – parwata winaluyakĕn ira sthānanya ngūni ring Çangkadwīpa. Marāryan ta sang watĕk dewata.
Mangangān - angĕn ta bhaāra Wiṣṇu i marganing amta kālapa denira. Magawe ta sira mayā strīrūpa, paripūra ring hayu, atĕng manunggangi daityarūpa; kapwa kākaraa ya katinghalan. Hara ta manah nikang daitya tumon ikang strī. Winehakĕn ikang amta ring kamaṇḍalu, pangkunĕn ing strī māyā; Lunghā tang strīmāyā mawa ng amta, maluy Wiṣṇu.
Tuminghal ikang daitya, krodha ta ya, kapwa sangrabdha sangkĕp ing sañjatanya, hanan musala gadā tomara sināmbutnya, manututi sang hyang Wiṣṇu. Kawenangan ta sira atĕng sarwadewatā makadi hyang Brahmā, sang hyang Içwara, tumulung i sang hyang Wiṣṇu, matangkĕp ikang prang.

Catatan.
pĕhan = air susu.                    rumuhun = mula2 , dahulu                 tumut = berikut (lalu).
dum = duman = bagian.          winaluyaken = dikembalikan             sthāna = tempat berdiri. 
Çrī dan Laksmī = keduanya çakti Wiṣṇu                                         Kastubhamai = permata               çweta = putih                         kamaṇḍalu = tempayan                     kahanan = tempat                            mahuwusan = selesai             inalap = dialap = diambil                   
Mangangān – angĕn ; memikir - mikirkan.                                       māyā = tak nyata ; bukan sewajarnya
kākaraa = gembira (?)        hara = senang, gembira                    sangrabhda .= siap sedia                   musala = sejenis gada            gada = gada ; senjata yang dipukulkan
tamara = sejenis tombak        kawenangan = ketahuan.

Untuk lebih lengkap mengetahui arti kata kata dalam petikan di atas dapat dicari lebih banyak pada Kamus jawa kuna online di sini

Petikan cerita yang hanya beberapa baris tersebut, ternyata membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk menyelesaikannya. He he he………

Relief samudramantana temuan dari candi sirahkencong
photo dari KITLV



[1] Ringkasan Samudramantana di ambil dari artikel Yosephine Apriastuti, file power point, tidak diterbitkan.
[2] Ki Hadiwidjana, 1954. Sarwaçāstra, kitab peladjaran dan latihan Bahasa Djawa Kuna = Kawi, Djilid II, Tjetakan ketiga, UP Indonesia NV, Jogja hal. 38-40.

Minggu, 28 Februari 2016

Ujian……

 Biar kayak sekolah beneran maka pertemuan kali ini kami mengadakan ujian. Sekedar untuk melihat seberapa banyak dan jauh teman teman sudah mengerti dan menguasai materi yang sejak beberapa bulan terakhir di bagikan.

Ada yang tidur setelah menerima soal, ada yang garuk garuk kemudian tengok kanan kiri, ada yang datang terlambat ada yang ngobrol sendiri pokok e macem macem wis…….







Dolan ke lapangan…..



 Mempelajari prasasti rasanya tidak afdol kalau tidak melihat langsung prasasti yang masih “in situ”. Atas dasar itu maka, di acara sinau Jawa Kuna bulan November ini, kami bersepakat untuk mengunjungi prasasti Cunggrang, dan berhubung tempatnya dekat, sekalian ke patirtan dan gapura Belahan.


Setelah teman teman ngumpul di sebuah pompa bensin, tempat yang disepakati untuk ngumpul sebelum ke Cunggrang, maka sekitar jam 09.00 WIB berangkatlah kami bersama sama ke lokasi prasasti Cunggrang di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Pasuruan Jawa timur. Bertanya ke beberapa orang, sampailah kami di sana.
Melepas lelah sejenak, maka kamipun mulai “berdiskusi” kecil tentang prasasti ini. 


Tulisan pada batu ini khas bergaya prasasti prasasti dari masa Sindok. Pahatan yang tegas dan dalam dengan masih bergaya huruf dari masa sebelumnya. Pahatan dan gaya hurufnya akan sangat berbeda pada prasasti prasasti masa selanjutnya, yang akan dipelajari dalam pertemuan pertemuan selanjutnya.

Detil  huruf prasasti Cunggrang
Dari catatan JLA Brandes dalam OJO XLI, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1836
Prasasti Cunggrang dikeluarkan pada hari Jumat Pahing tanggal 12 Suklapaksa bulan Asuji tahun 851 Saka atau 18 September 929. Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ini adalah Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotungga. Perintah itu berisi penetapan desa Cunggrang yang termasuk wilayah Bawang untuk menjadi sima (daerah otonom) yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Dharmma di Pawitra serta di Sang Hyang Silunglung Sang Siddha Dewata[1]. Rakryan (Bawa)ng Dyah Kbi diperbolehkan menetapkan sima bagi Sang Hyang Dharmma Pa(tapa)n dan Sang Hyang Prasada Silunglung Sang Dewata.
Prasasti yang sama namun dalam bentuk material yang berbeda yakni dari logam, juga ditemukan di daerah Malang, dari pembacaan Stuterheim diketahui bahwa kalimat dalam prasasti logam itu lebih lengkap dibandingkan dengan kalimat kalimat yang terukir pada batu di Cunggrang ini[2]. Hal ini sangat mungkin karena tingkat keausan batu akan lebih gampang dibandingkan dengan tingkat keausan logam, apalagi batu yang digunakan untuk memahat kalimat kalimat dalam prasasti ini terbuat dari batuan yang lebih banyak mengandung pasir. Prasasti ini juga untuk pertama kalinya menyebutkan nama lama dari Penanggungang yakni Pawitra.
Kegiatan selanjutnya adalah belajar membuat absklat dari prasasti ini. Absklat adalah bentuk cetakan kertas yang hasilnya adalah bentuk negative dari tulisan yang ada di prasasti. Artinya, ketika kita akan membaca bentuk cetakan itu, kita harus menggunakan kaca agar dapat membaca dengan baik. Cara dengan hasil negative ini sebenarnya adalah cara yang lama, cara yang baru adalah dengan cara mencetak dengan menggunakan tinta, akan tetapi karena diperlukan tinta dan kertas yang khusus, maka untuk pelatihan kali ini cukuplah dengan menggunakan kertas ketela yang banyak di jual di took. Pada intinya kami belajar salah satu cara untuk mendokumentasikan prasasti.
Praktek cara membuat absklat dengan kertas.
photonya mbak Laurentia.
Mencoba membaca prasasti
masih photonya mbak Laurentia











Hasil absklat.....bukan dari prasasti ini
photone mas Wisnu (mungkin)
Detil hasil absklat
masih photonya mbak Laurentia































Kam di Cunggrang
photonya mbak Laurentia lagi

Setelah selesai di Cunggrang dan selalu di akhiri dengan photo bersama, kami meneruskan langkah menuju gapura belahan di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan. Melewati jalan naik turun dengan pemandangan yang lumayan bagus, meski banyak debu, sampailah kami di halaman masjid untuk yang bermobil atau di halaman rumah penduduk yang dengan ramah mempersilahkan kami memarkir kendaraan kami di sana. Dan dengan menyusuri jalan setapak yang cukup lumayan untuk yang tidak terbiasa berjalan kaki, sampailah kami di Gapura Lanang dan gapura Wadon. Gapura berbentuk paduraksa dengan material dari Bata. Gapura lanang berada di dekat kuburan tua yang entah masih digunakan atau tidak. Beberapa ratus meter dari gapura Lanang, terdapat gapura Wadon. Di sekitarnya gapura Wadon terdapat gundukan bata yang kemungkinan dahulu adalah sebuah bangunan serta talud talud dari bata yang mengitari reruntuhan itu. 

Gapura Lanang
photonya mas Adjie
Gapura Wadon
photonya mas Wahyu
Mencoba menafsir keberadaan bangunan berdasar peta
maaf ini photo siapa ya???

Struktur tembok bata di sekitar gapura belahan
maaf ini photo milik  ya???

Masih tentang struktur tembok bata di sekitar gapura belahan
dan masih belum tahu ini photo milik  ya???

Dari peta pada article yang pernah di buat Th Resink di ketahui bahwa beberapa puluh meter dari gapura wadon (B) pernah terdapat sebuah kolam yang sekarang sudah tidak ada lagi[3], mungkin tertutup longsoran tanah. Lokasi kedua gapura ini memang berada pada tanah berbukit.   
Photo di gapura Lanang
photonya mas Setiyo
Behind the scene photo gapura lanang
photonya mas Wisnu













Berphoto adalah semacam keharusan bagi kelompok kami, maka berphotolah kami di sana, dan kebetulan pula sedang musim mangga, maka dari pohon yang entah milik siapa, kamipun “memanen”mangga. Lumayan, haus terobati he he he…..
Panen mangga entah milik siapa
photonya mas Setiyo

Dari gapura Belahan kami menuju ke Patirtan Belahan atau yang oleh penduduk sekitar lebih dikenal dengan candi Sumber Tetek. Sebutan ini lebih merujuk pada adanya air yang mengalir keluar dari payudara salah satu arca yang berada di patirtan itu. Sumber air dan kolam di depannya, digunakan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air sehari hari. Di patirtan ini terdapat dua buah arca perempuan yang di anggap sebagai Sri dan Laksmi. Dari bagian payudara Laksmi mengucur air yang berasal dari pipa di belakang tembok tempat kedua arca ini berada. Patirtan ini disebut sebagai Belahan I ( F ) berada di titik selatan kompleks dan merupakan yang tertinggi kedua suaka. Pada dinding barat terdapat arca perempuan berlengan empat, Tingginya sekitar 1,90 meter , yang berdiri pada relung, masing-masing adalah dewi Laksmi dan Çri. Arca Garuda dan Wisnu di atasnya yang sekarang berada di museum Trowulan dipercaya berasal dari tempat ini.
Air yang mengucur dari arca Laksmi
photonya mbak Laurentia
Arca Sri dan Laksmi di Patirtan Belahan
photonya mbak Laurentia

Relief seorang tokoh di sebelah kiri relung arca Sri
photo Goenawan

Arca Sri
photo Goenawan
Arca Laksmi
photo Goenawan

Di patirtan ini ditemukan pula relief arca yang dapat dibaca sebagai saat terjadinya gerhana. Pada sisi mukanya, sebuah relief bergambar Kala berambut ikal yang memenuhi bidang atas batu ini; Kala ini tanpa tubuh dan kaki, tetapi mempunyai dua tangan yang sedang menggenggam dan menggigit sesuatu berbentuk bulat dan berlubang. Ada tiga mahluk kayangan terbang melayang di sekitar kepala Kala; yang satu berada di atas kepala, dua mahluk lagi berada di bagian bawah. Dua kepala mahluk kayangan ini sepertinya menyatu dengan sesuatu yang berbentuk bulat tadi.
Berdasarkan hal itu beberapa sarjana arkeologi membaca sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti di petirtaan Belahan sebagai: Candra sinahut Kala (Rahu) atau “(Dewi) Bulan digigit Kala (Rahu). Sĕngkalan itu bermakna: 1 (Candra = Bulan), 3 (sinahut = digigit) 9 (Kala Rahu). Angka keseluruhan menunjukkan angka tahun 931 Saka atau 1009 M. Sĕngkalan mĕmĕt tersebut menunjukkan peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu, yaitu peristiwa gerhana Bulan. Mengapa gerhana Bulan? Bukan gerhana Matahari? Padahal relief pada batu prasasti itu menunjukkan dua mahluk kayangan, Surya (Matahari) dan Candra (Bulan), yang kepalanya berbentuk piringan bundar itu digigit Kala Rahu. Pada relief itu jelas menggambarkan Kala Rahu yang menangkap dan menggigit hendak menelan dua mahluk kayangan yang kepalanya berbentuk bulat seperti piringan Bulan dan Matahari. Mereka adalah Dewi Candra dan Dewa Surya, yang ketika ditelan oleh Kala Rahu mengakibatkan terjadi gerhana Bulan dan Matahari.
Cerita ini dapat ditemukan dalam Samudramantana dari kitab Adiparwa. Raksasa anak Wipracitti, menyusup di antara para dewa untuk mengantri minum air kehidupan abadi (Amrta) hasil  pengadukan lautan susu. Penyusupan itu tidak diketahui para dewa selain dewa Candrāditya, karena raksasa itu menyaru menjadi dewa. Ketika tiba saat giliran si dewa penyusup itu meminum Amrta, melaporlah sang dewa Candrāditya pada dewa Wisnu, bahwa ada dewa jadi jadian ikut antri dalam meminum Amrta. Segera dewa Wisnu melepaskan cakra-nya hingga menebas leher sang dewa palsu itu. Namun karena Amrta telah terlanjur diminum hingga ke leher maka abadilah bagian kepala si Raksasa. Tubuhnya yang belum tersentuh Amrta melayang di udara dan jatuh ke bumi. Sakit hati karena laporan dewa Candrāditya kepada Wisnu menyebabkannya gagal menjadi abadi, maka kepala raksasa itu selalu mencari kesempatan untuk membalas dendamnya kepada dewa Candrāditya dengan cara memakannya hingga terjadilah gerhana.
Untuk mengalihkan perhatian Kala Rahu itu, masyarakat Jawa dan Bali biasanya memukul-mukul kentongan/lesung agar ia mengurungkan niatnya menelan Bulan ataupun Matahari. Kalaupun berhasil ditelan oleh Kala Rahu, tentunya ia akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.

 
Sengkalan memet candra sinahut rahu
ini photo milik siapa ya????
sayang botol tempat dupa itu belum sempat di singkirkan dulu.
mas Bagus Tebe yang ambil gambarnya...
dan sebelum bubar karena hari mulai sore, sekali lagi kami berphoto bersama

Pustaka
·         Edhie Wuryantoro 2003, Struktur pemerintahan kerajaan Mataram di Jawa Timur berdasarkan data prasasti abad ke-10. Laporan Penelitian, Pusat Pengembangan Penelitian F.Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta
·         WF Stutterheim, Een Oorkonde op koper uit het Singasarische dalam TBG 1925-Deel 65 hal 208 – 281
·         Th. A. Resink, Bĕlahan or a Myth Dispelled dalam seap.indo.Volume 6 October 1968
·         Trigangga, Prasasti di Petirtaan Belahan: Catatan Peristiwa Gerhana Bulan? Makalah dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012
·          





[1] Edhie Wuryantoro, Struktur pemerintahan kerajaan Mataram di Jawa Timur berdasarkan data prasasti abad ke-10. Hal 5
[2] WF Stutterheim, Een Oorkonde op koper uit het Singasarische. Hal 231 - 238
[3] Th. A. Resink, Bĕlahan or a Myth Dispelled hal 3

Sabtu, 27 Februari 2016

Mau membaca lagi?????

 

Setelah sempat bingung dimana karpet yang biasa di gunakan itu di simpan, -karena tempat penyimpanan dimana kami biasa ambil ternyata sudah di pindah,- akhirnya sekitar jam 09.00 WIB kami dapat lagi belajar membaca dan menerjemahkan lempeng prasasti.


Pertemuan ke V ini kami belajar sebuah prasasti logam dari dari masa Balitung.
Photo lengkap lempeng prasasti itu dapat di lihat di https://socrates.leidenuniv.nl/ dengan no panggil OD.8736, hari ini kami cukup membaca dan mengalih aksarakan 5 baris pertamanya saja.







Alih-aksara:
1. //0// swasti śaka warātīta 829 caitra māsa ' tithi ekadaśi kṛṣṇapaka ' tu ' u ' śa ' wāra ' pūrwwabhadra nakatra ' ajapāda dewatā ' indrayoga ' tatkāla ājña śrī mahārāja rakai watukura dya balituŋ śrī da 
2. rmmodaya mahāśambhu ' umiŋsor i rakarayān mapati i hino ' halu ' sirikan ' wka ' halaran ' tiruan ' palarhya(ŋ) maŋhūri ' wadihati ' makudur ' kumonakan nikanaŋ wanua i mantyāsi wini ni sawa-nya satū ' muaŋ a
3. lasnya i muṇḍuan ' i kayupañjaŋ ' muaŋ pomahan iŋ kuniŋ wanua kagunturan pasawahanya ri wurut kwai ni wini-nya satū hamat 18 hop sawa kanayakān ' muaŋ alasnya i susuṇḍara ' i wukir sumwi ' kapua wa
4. tak patapān ' sinusuk sīmā kapatihana ' paknānya pagantyagantyana nikanaŋ pati mantyāsi sādak lawasanya tluŋ tahun sowaŋ kwai nikanaŋ pati sapuṇḍa pu sna rama ni ananta ' pu kolara ' manidili ' pu puñjĕŋ
5. rama ni udal ' pu kabharama ni labdha ' pu sudrakara ni kayut piṇḍaprāa 5 samakana kwai nikanaŋ pati i nanugrahān muaŋ kinon ta ya matūta sānak // samwandhanyan i nanugrahān sakayān makwai buatthaji 

He he he ternyata kalau di tulis di edisi pandangan mata cuma satu halaman saja kurang. Saat alih aksara tadi, tahu tahu sudah pukul 12.30 dan itu belum semua baris yang hanya 5 selesai semua. Belum juga alih Bahasa…..
Sebelum bubar, kami sepakat untuk pertemuan selanjutnya ada di lapangan…..
menengok prasasti Cunggrang, gapura Belahan dan Patirtan Belahan.

OK….. selesai dulu daaaag….